Sang Buddha Gotama
Sang Buddha merupakan Raja Dunia yang mengetahui Semua hal Tentang kehidupan. Ia Seperti orang yang telah terlepas dari tidur lelapnya yang membuatnya mengetahui tentang lingkaran kehidupan dan Proses Hukum Karma.
Kelahiran Bodhisattva Kedunia
![]() |
Pangeran Siddharta Melangkah 7 Langkah Ke Utara |
Sang Buddha Gautama Lahir di Taman Lumbini pada saat Ibunya ingin Berjalan-jalan di Taman Tersebut. Ibunya merupakan Seorang Ratu yang bernama Ratu Mahamaya dan memiliki Suami yang bernama Raja Suddhodana. Dan Pangeran Bodhisattva dilahirkan dengan ibunya memegang Pohon Sala. Dengan Bantuan Para Dewa, Pangeran Siddharta telah dilahirkan kedunia. Pada Saat ia Dilahirkan Ia berjalan Tujuh Langkah ke Arah Utara. Setelah Kejadian Tersebut Ia membawa Pangeran Siddharta ke Kerajaan Kapillavathu.
Kelahiran Sang Pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kāladevala yang merupakan guru pribadi raja. Petapa Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana di ibu kota Kapilavatthu untuk melihat pangeran kecil tersebut.
![]() |
Pertapa Asita Menghormat Kepada Pangeran Siddharta |
Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Manusia Agung (Mahāpurisa) pada bayi tersebut, ia memberikan penghormatan kepada-Nya. Melihat sang guru kerajaan yang seharusnya mendapatkan penghormatan dari seluruh rakyat kerajaan termasuk raja, tetapi justru memberi penghormatan kepada Sang Pangeran, Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu Petapa Asita tertawa gembira karena bahagia sebab Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha. Tetapi kemudian ia menangis karena bersedih sebab usianya yang sudah tua membuat ia tidak bisa menunggu bayi tersebut dewasa hingga menjadi seorang Buddha dan membabarkan ajaran-Nya.
Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga istri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Mahāpajāpatī Gotamī melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda (Rupananda).
Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri, Pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.
Setelah Ratu Mahāmāyā wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Māyādevaputta (Santusita) di surga Tusita .
WELAS ASIH SANG PANGERAN
Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.
![]() |
Pangeran Devadatta Ingin Mendapatkan Angsa |
Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut.
Pernikahan Pangeran Siddharta
Pada saat itu tahun 607 SEU (547 SEU) atau tahun 64 SEB, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun, Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas. Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi singgahsananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran. Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai istri.
![]() |
Pangeran Siddharta Menikah dengan Putri Yasodara |
Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi istri-Nya. Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharā, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.
MELIHAT PENAMPAKAN PERTAMA: ORANG TUA
Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana. Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.
![]() |
Pangeran Siddharta Melihat Orang Tua |
Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.
MELIHAT PENAMPAKAN KEDUA: ORANG SAKIT
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.
![]() |
Pangeran Siddharta Melihat Orang Sakit |
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam.
Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
MELIHAT PENAMPAKAN KETIGA: ORANG MATI
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
![]() |
Pangeran Siddharta melihat Orang Meninggal |
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”
MELIHAT PENAMPAKAN KEEMPAT: PETAPA
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.
![]() |
Pangeran Siddharta Melihat Seorang Pertapa |
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa oran itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Pelepasan Keduniawian Pangeran Siddhattha
Keempat penampakan agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan. Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani Sang Pangeran untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana – Rāhula, yang lahir pagi itu. Sang Pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang bahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia bahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, Pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan.
MENINGGALKAN ISTANA
Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat ke sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur malang-melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; dalam pandangan-Nya, tubuh mereka semua tergeletak seperti tidak ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tidak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
![]() |
Pangeran Siddharta Meninggalkan Istana |
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia kemudian meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok istri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, Pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodharā dan menimang putra-Nya meskipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodharā terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu Pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, di bulan Āsāḷha, tahun 594 Sebelum Era Umum (tahun 534 SEU secara konsensus sejarawan) atau tahun 51 Sebelum Era Buddhis, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan Sang Pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
MEMOTONG RAMBUT
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sākya, Koliyā, dan Mallā. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anomā dan menyeberanginya.
![]() |
Pangeran Siddharta Memotong Rambut selebar 2 Jari |
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis.
DUA ORANG GURU
Kemudian Petapa Gotama melanjutkan perjalanan-Nya dengan menuruni Bukit Pandava (Pali: Paṇḍava-pabbata; Sanskerta: Pāṇḍavaḥ-parvata) dan menuju ke Kota Vesāli[3], ibu kota negara Konfederasi Vajjī[4], salah satu negara dari 16 Mahājanapada (Negara Besar)[5]. Saat itu Vesāli merupakan tempat tinggal seorang guru agama terkemuka bernama Āḷāra Kālāma (Sanskerta: Ārāḍa Kālāma) bersama dengan para siswanya. Āḷāra Kālāma diyakini telah mencapai beberapa tingkat pencapaian spiritual dari meditasi hingga pada tingkatan konsentrasi yang tinggi yang disebut Jhāna Tataran Kekosongan (Pali: ākiñcaññāyatana jhāna; Sanskerta: ākiṃcanyāyatana dhyāna)[6]. Petapa Gotama memutuskan menjalani hidup suci dengan bergabung dalam persamuhan Āḷāra Kālāma.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Petapa Gotama telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Āḷāra Kālāma bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Mendengar hal tersebut Āḷāra Kālāma berniat menyerahkan setengah pengikutnya kepada petapa Gotama. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Petapa Gotama segera meninggalkan Vesāli dan berjalan menuju negara Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahī, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati bernama Uddaka Rāmaputta (Uddaka, putra Rāma). Kemudian Petapa Gotama pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Rāmaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Petapa Gotama mampu menguasai ilmu dan mencapai hasil yang diajarkan oleh Uddaka Rāmaputta.
Setelah itu Uddaka Rāmaputta pun akhirnya mengajarkan Petapa Gotama ajaran dari Rāma, mendiang ayahnya yang telah mencapai Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan (Pali: nevasaññānāsaññāyatana jhāna; Sanskerta: naivasaṃjñānāsaṃjñāyatana dhyāna)[7] sebagai hasil praktik meditasinya tersebut. Saat itu Uddaka Rāmaputta sendiri belum mencapai tahap konsentrasi dari hasil praktik ajaran mendiang ayahnya tersebut, ia hanya memiliki pengetahuan teori dari praktik yang diwariskan kepadanya.
Dengan keteguhan, ketekunan, konsentrasi dan perhatian murni, Petapa Gotama mempraktikkan teknik meditasi yang diajarkan oleh gurunya tersebut hingga dengan segera Ia berhasil mencapai tingkatan Jhāna Tataran Bukan Pencerapan Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Mendengar pencapaian siswanya tersebut, Uddaka Rāmaputta merasa gembira dan memberikan penghormatan kepada Petapa Gotama dengan meminta-Nya untuk memimpin dan menjadi guru dari semua siswa di pertapaannya tersebut termasuk dirinya. Naumn, setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya tersebut, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Petapa Gotama akhirnya meninggalkan pertapaan Uddaka Rāmaputta.
MENCARI JALAN LAIN UNTUK MENCAPAI PENCERAHAN
Setelah mempraktikkan pertapaan keras selama enam tahun, pada suatu saat di hari pertama bulan mati, di bulan Vesākha, tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis (SEB), Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia belum juga mencapai Pencerahan Sempurna, belum mencapai Pengetahuan Segala Sesuatu (sabbaññuta nāna). Saat merenungkan apakah ada cara lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Ia teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhāna Pertama saat mempraktikkan ānāpāna bhāvanā ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambul/jamblang (Latin: Eugenia Jambolana) sewaktu perayaan bajak tanah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana.[10]
Setelah merenungkan manfaat dari ānāpāna bhāvanā (meditasi memperhatikan nafas), sejak saat itu Petapa Gotama meninggalkan praktik tapa keras dan selalu menuju ke Desa Senāni untuk menerima dana makanan serta makan setiap pagi guna memulihkan kondisi tubuhnya. Dengan demikian Ia bisa melanjutkan pencarian-Nya dengan menggunakan latihan pengembangan ānāpāna bhāvanā .
Melihat Petapa Gotama keluar dari praktik pertapaan keras dan mengubah cara latihan-Nya, kelima petapa, yang selama ini menemani dan melayani Petapa Gotama selama enam tahun dengan pengharapan yang tinggi, mulai meragukan-Nya dan berpikir Ia telah berhenti berjuang dan kembali menikmati kemewahan.
Setelah itu, kelima petapa meninggalkan-Nya dan menuju ke Taman Rusa (Pali: Migadāya, Sanskerta: Mrigadava), di Isipatana dekat Bārānasī (Benares; Varanasi). Setelah para petapa yang melayani-Nya tersebut meninggalkan diri-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri di Hutan Uruvelā. Ia berdiam dalam suasana yang sangat terpencil, hidup dalam kesunyian total yang mendukung tercapainya kemajuan yang luar biasa dalam pengembangan konsentrasi-Nya.
PERSEMBAHAN DANA MAKANAN DARI SUJĀTĀ
Pada hari kelima belas di bulan Vesākha, tahun 588 SEU (528 SEU) atau tahun 45 SEB, ketika fajar menyingsing, Petapa Gotama membersihkan tubuh-Nya, lalu pergi menuju ke sebatang pohon jawi (Pali: ajapāla nigrodha; Latin: Ficus benghalensis; banyan India). Ia duduk di bawah pohon itu sambil menunggu waktu untuk pergi menerima dana makanan.
Saat itu pula merupakan waktu bagi masyarakat setempat untuk memberikan penghormatan kepada para dewa, tidak terkecuali Sujātā, seorang dermawati, putri dari Senānī – seorang hartawan di kota itu, yang telah lama melakukan penghormatan kepada dewa penjaga pohon jawi karena telah terpenuhi harapannya untuk memiliki seorang putra.
Sujātā bangun pagi-pagi dan menanak sendiri nasi susu untuk persembahan. Saat menanak nasi susu, ia memerintahkan pembantu perempuannya, Puṇṇa, untuk membersihkan kaki pohon jawi tempat kediaman dewa penjaga yang selama ini ia berikan penghormatan dan persembahan.
Ketika tiba di pohon jawi yang dimaksud, Puṇṇa melihat Petapa Gotama yang sedang duduk menghadap ke timur, di kaki pohon tersebut. Dengan mengira Petapa Gotama sebagai dewa penjaga pohon yang telah datang, Puṇṇa bergegas pulang dan melaporkan hal itu kepada Sujātā. Mendengar berita tersebut Sujātā sangat bahagia. Ia menempatkan nasi susu yang telah ditanaknya ke dalam sebuah mangkuk emas yang kemudian ia bungkus dengan sehelai kain putih bersih, kemudian ia pergi bersama Puṇṇa menuju pohon jawi di mana Petapa Gotama Duduk Bermeditasi.
Melihat Petapa Gotama yang dianggapnya sebagai dewa penjaga pohon dengan wajah-Nya yang tampan dan tenang, hati Sujātā meluap gembira. Kemudian ia mendekati Petapa Gotama dengan hormat lalu duduk di tempat yang sesuai, menurunkan mangkuk emas dari kepalanya lalu membukanya dan mempersembahkan nasi susu dengan penuh bakti dan kebahagiaan kepada Petapa Gotama seraya mengungkapkan pengharapannya agar segala cita-cita Petapa Gotama juga terpenuhi seperti keinginannya memiliki putra yang juga telah terpenuhi. Petapa Gotama menerima mangkuk emas berisi nasi susu itu dari tangan Sujātā.
Sekali lagi, Sujātā memberi hormat kepada Petapa Gotama, bangkit dari duduknya, berjalan mundur beberapa langkah, lalu memutar badannya, dan pulang tanpa sedikitpun memikirkan mangkuk emas yang telah ia berikan kepada Petapa Gotama.
Petapa Gotama juga bangkit dari tempat duduk-Nya, membawa mangkuk emas berisi nasi susu tersebut, dan berjalan menuju ke tepi Sungai Nerañjarā. Ia meletakkan mangkuk itu, kemudian membersihkan diri di Arungan Suppatiṭṭhita. Setelah keluar dari arungan tersebut, Ia membawa mangkuk emas itu dan duduk di bawah naungan sebatang pohon. Mula-mula Ia membuat nasi susu itu menjadi empat puluh sembulan cuil dan merenungkan dengan berharap keempat puluh sembilan cuil nasi susu tersebut bisa menjadi zat makanan yang dapat menghidupi tubuh-Nya selama tujuh minggu penuh. Setelah itu, Ia mulai memakannya.
Seusai makan, Ia membawa mangkuk emas itu menuju sungai dan mengucapkan tekad-Nya menjadi Buddha. Ia kemudian mengapungkan mangkuk emas tersebut di Sungai Nerañjarā.
Pencapaian Pencerahan Sempurna Petapa Gotama
![]() |
Buddha Telah Mencapai Penerangan Sempurna |
Setelah menerima persembahan nasi susu dari Sujātā di pagi hari, pada hari kelima belas di bulan Vesākha, tahun 588 Sebelum Era Umum (528 SEU) atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis, Petapa Gotama kemudian pergi menuju hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) di tepi Sungai Nerañjarā. Di sana Ia beristirahat sejenak dan melewati sisa hari itu di bawah naungan rindang sebatang pohon sāla sambil berkonsentrasi dalam keluar-masuk nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā)[1]. Pada senja sore hari itu, kala udara terasa sejuk dan angin berhembus sepoi-sepoi, Ia menuju ke Hutan Gayā, ke kaki pohon bodhi (Pali: assattha; Latin: Ficus religiosa).
Dalam perjalanan, Ia bertemu dengan seorang pengumpul rumput bernama Sotthiya, yang tengah datang dari arah yang berlawanan sambil memikul rumput. Sotthiya sangat terkesan oleh penampilan agung Petapa Gotama. Setelah tahu bahwa Petapa Gotama memerlukan sedikit rumput, ia lalu mempersembahkan delapan genggam rumput kusa kepada-Nya.
Sesampainya di pohon bodhi, Petapa Gotama memeriksa sekeliling untuk mencari tempat yang sesuai untuk bermeditasi. Setelah itu, Ia duduk menghadap ke timur dengan bersilang kaki. Ia menyatakan tekad-Nya yang bulat untuk tidak akan bangkit dari tempat duduk-Nya walaupun hanya kulit, urat daging, dan tulang-Nya yang tertinggal, seluruh tubuh, daging, dan darah-Nya mengering dan berkerut, kecuali dan sampai Ia mencapai Kebuddhaan.
TERCAPAINYA TIGA PENGETAHUAN SEJATI
Setelah mengalami pergulatan batin yang berat selama beberapa waktu sebelum matahari terbenam, dengan Bumi sebagai saksi-Nya, akhirnya Petapa Gotama berhasil menundukkan rasa ngeri, keinginan duniawi, niat buruk, dan kekejaman. Kemenangan-Nya atas pergulatan batin ditandai dengan berjajarnya bulan purnama yang tengah menyingsing di ufuk timur dengan bulatan merah matahari yang tengah terbenam di ufuk barat. Petapa Gotama akhirnya mengetahui bahwa itulah saat yang tepat untuk meneruskan perjuangan-Nya mencapai Pencerahan Agung. Pada malam bulan purnama, bulan Vesak, 588 SEU, Petapa Gotama tetap duduk tenang memusatkan perhatian-Nya.
Setelah Ia memasuki jhāna pertama, kedua, ketiga dan keempat dalam meditasi-Nya, pikiran-Nya yang terkonsentrasi menjadi murni, cermelang, tanpa noda, tanpa cacat, mudah ditempa, mudah dikendalikan, serta tak tergoyahkan. Saat itu Ia mengarahkan pikiran-Nya dan mencapai tiga pengetahuan (Pali: tevijjā; Sanskerta: trividyā)
Pengetahuan pertama merupakan pengetahuan melihat dengan jelas dan rinci kelahiran-kelahiran-Nya yang terdahulu (Pali: pubbenivāsānussati ñāṇa; Sanskerta: purvanivāsānusmṛti jnāna). Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00 sampai 22.00.
Pengetahuan kedua merupakan pengetahuan mata dewa (Pali: dibbacakkhu ñāṇa; Sanskerta: divyacaksus jnāna)[2] yang dapat melihat dengan jelas lenyapnya dan munculnya kembali makhluk hidup setelah mereka mati. Ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali ke dalam kondisi rendah dan mulia, cantik dan buruk, mujur dan malang. Hal ini terjadi pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 sampai 02.00.
Pengetahuan ketiga merupakan pengetahuan akan penghancuran noda-noda batin (Pali: āsavakkhaya ñāṇa; Sankserta: Asravaksaya jnāna). Ia mengetahui secara langsung segala sesuatu sebagaimana adanya. Ia menyadari dan mencerap bahwa pikiran-Nya terbebas dari noda keinginan indrawi, noda kehidupan, dan noda kebodohan batin. Dan ketika Ia terbebas, muncullah pengetahuan bahwa Ia telah terbebas. Ia menyadari langsung bahwa sumber kelahiran-Nya sudah dihancurkan; hidup suci sudah dijalankan; apa yang harus dilakukan sudah dilakukan; tiada lagi kelahiran kembali di alam mana pun juga. Hal ini terjadi pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 sampai 04.00. Ia mengetahui bahwa “inilah penderitaan”, bahwa “inilah sumber penderitaan”, bahwa “inilah berakhirnya penderitaan”, dan bahwa “inilah jalan menuju akhirnya penderitaan”.
Dengan tercapainya Pengetahuan Sejati Ketiga tersebut maka Petapa Gotama mencapai Arahatta-Magga[3]. Dan tanpa jeda waktu sedikit pun, Ia mencapai Arahatta-Phala[4], saat pikiran-Nya menjadi benar-benar murni. Demikianlah Petapa Gotama menjadi Yang Sadar (Buddha), Yang Terberkahi (Pali: Bhagavā; Sanskerta: Bhagavant), Yang Tercerahkan Sempurna (Pali: Sammāsambuddha; Sanskerta: Samyaksambuddha).
Seiring dengan Pencerahan-Nya, Petapa Gotama juga memperoleh pengetahuan sempurna tentang Empat Kebenaran Ariya (Pali: Cattāri Ariya Saccāni; Sanskerta: Catvāri Ārya Satyāni), Empat Pengetahuan Analisa (Pali: paṭisambhidā ñāṇa; Sanskerta: pratisambhidā jnāna), serta Enam Pengetahuan Khusus (Pali: Asādhāraṇa ñāṇa; Sanskerta:Asādhāraṇa jnāna), yang kesemuanya merupakan Kebijaksanaan Beruas Empat Belas dari seorang Buddha.
Demikianlah menjelang fajar pada hari keenam belas, bulan Vesākha 588 SEU, atau tahun 45 Sebelum Era Buddhis, pada usia tiga puluh lima tahun, Petapa Gotama mencapai Kemahatahuan (Sabbaññutta ñāṇa; Sanskerta: Sarvajña jnāna) dan menjadi Buddha[5] dari tiga dunia dengan usaha-Nya sendiri.
"Segala Sesuatu Tidaklah Kekal, Berjuanglah Bersungguh-sungguh dengan Penuh Kesadaran"